Di awal abad ke-20, tepatnya tanggal 16 Mei 1900 disaat penjajah
menindas bangsa indonesia, telah lahir seorang bayi yang diberi nama
Mas'ud. Ia lahir dari kalangan bangsawan yang relegius dari keluarga
besar Raden Mas M. Utsman seorang Onder Distrik (penghulu kecamatan).
Suasana gembira menyaksikan lahirnya bayi di dunia, dari wajahnya
terpancar nur ilahiyah pertanda bahwa kelak ia akan menjadi figur yang
dikagumi masyarakat.
Sebagai putra bangsawan, Mas’ud mempunyai masa depan yang cukup cerah
dan penuh harapan,Mas’ud sekolah di SR MOLO , AMS bahkan sampai
perguruan tinggi STOVIA (Fakultas kedokteran UI Sekarang) di Batavia.
Dengan modal kecerdasan dan ketekunan yang di miliki, Mas'ud muda tumbuh
menjadi putra zaman yang tangguh dan patut di teladani, Ini semua dapat
diketahui darisemua jenjang pendidikan yang dapat diselesaikan dengan
baik, Sebagaimana layaknya anak-anak muda lainya di tempat
tinggalnya,sejak dini Mas’ud sudah melaksanakan teori dan praktek
belajar mengajar di desanya terutama sekali pendidikan agama, Beliau
sudah mempersiapkan untuk menempuh kehidupan yang akan datang dengan
Ilmu,ahlaq dan Aqidah yang Luhur.
Hanya pendidikan di STOVIA saja yang tidak terselesaikan, itupun bukan
kehendak sendiri , tapi kehendak keluarga menghendaki agar Mas'ud
merubah arah pendidikan dari jalur do Scool ke pendidikan Pesantresn ala
Salafy dengan harapan agar kelak di kemudian hari ia mampu memahami
agama islam secara luas serta mengamalkan untuk diri diri sendiri dan
masyarakat luas.
Mulailah Mas’ud ( KH Dzajuli Utsman ) dengan bekal Izin keluarga beliau
memasuki pesantren Mojosaro Nganjuk pada Saat itu di Bawah asuhan K.
Zainuddin beliau adalah Kiyai yang terkenal karomah dan ma’rifatnya,
bahkan orang sering menyebutnya waliyullah sehingga pesantren tersebut
terkenal di kalangan masyarakat.
Dengan penuh rasa himmah dan kesabaran dan ketekunan akhirnya mas’ud
dapat menyelesaikan jenjang pendidikan di Pesantren Mojosari, suka duka
di pesanternen Beliau pernah memaknahi kitab dalam bahasa jawa dan
kemudiann di jual pada teman-temanya seharga satu ringgit per-kitabnya
ini suatu bukti bahwa Beliau cukup prihatin selama berada di pesantren
Mojosari.
Setelah lulus dari Pesantren Mojosari Mas’ud melanjutakan di Makkah,
Selama di tanah suci, ia berguru pada Syeikh Al-‘Alamah Al-Alaydrus di
Jabal Hindi. Namun, beliau disana tidak begitu lama, hanya sekitar dua
tahun saja, karena ada kudeta yang dilancarkan oleh kelompok Wahabi pada
tahun 1922 yang diprakasai Pangeran Abdul Aziz As-Su’ud.
Sepulang dari tanah suci Mas’ud yang sudah berganti Nama H.Ahmad Djazuli
Utsman lalu menetap di tanah kelahirannya di Ploso Mojo kediri tak lama
kemudian Beliau meneruskan ke pesantren Tebuireng Jombang untuk
memperdalam Ilmu Hadist langsung di bawah asuhan Syekh KH. Hasyim
Asy'ari.
Tatkala H. Djazuli Utsman sampai di Tebuireng dan sowan ke KH. Hasyim
Asya’ri untuk belajar, Al-Hadirotusy Syekh sudah tahu siapa Djazuli yang
sebenarnya, ”Kamu tidak usah mengaji, mengajar saja di sini.” H.
Djazuli kemudian mengajar Tafsir Jalalain, bahkan ia kerap mewakili
Tebuireng dalam Bahtsul Masa’il (seminar) yang diselenggarakan di Kenes,
Semarang, Surabaya dan sebagainya.
Setelah dirasa cukup, ia kemudian melanjutkan ke Pesantren Tremas yang
diasuh KH. Ahmad Dimyathi (adik kandung Syeikh Mahfudz Attarmasiy). dan
seterusnya ke pesantren Sono Sidoarjo dibawah pimpinan KH Khozin. Tak
berapa lama kemudian ia pulang ke kampung halaman, Ploso. Sekian lama
Djazuli menghimpun “air keilmuan dan keagamaan”. Ibarat telaga, telah
penuh. Saatnya mengalirkan air ilmu pegetahuan ke masyakrat.
Di usia yang begitu Muda sudah cukup dikenal kepandaian dan keuletannya
sehingga bayak dari kalangan masyarakat khususnya para kiyai
menginginkan untuk menjadi menantu diantaranya KH Zainuddin Mojosari,
yang akhirnya Beliau dinikahkan dengan putri angkatnya yang bernama
Musyarofali bin KH.Khozin Widangan Langitan Tuban. tak berlangsung lama
disaat Beliau berada di Tanah suci Istrinya meninggal dunia, dan KH
Djazuli di ambil menantu oleh KH. Muharrom yang bernama Khasanah setelah
dikaruniahi satu anak terus terjadilah Furqoh.
Begitulah perjalanan pernikahan beliau dalam membina rumah tangga, Namun
kegagalan itu tidak menjadikan beliau patah semangat ,bahkan didalan
beliau mengeman tugas sebagai pendidik nampaknya semakin Istiqomah . Hal
ini rupanya yang mengundang sipati seorang bangsawa dari Trenggalek
yang bernama Mas H. Imam Mahyin, pada akhirnya dinikahkan dengan
putrinya yang bernama Roro Marsinah yang kita kenal sebagai Simbah Nyai
Rodliyah .
Dari perkawinan inilah dan terakhir kalinya beliau dianugrahi enam orang
Putra yang nantinya merekan akan meneruskan perjuangan beliau
“Li-i'la'i Kalimatillah” dalam mengembangkan Pesantren Al Falah Ploso.
Dengan modal tekad yang kuat untuk menanggulangi kebodohan dan
kedzoliman, ia mengembangkan ilmu yang dimilikinya dengan jalan
mengadakan pengajian-pengajian kepada masyarakat Ploso dan sekitarnya.
Hari demi hari ia lalui dengan semangat istiqamah menyiarkan agama
Islam.
Hal ini menarik simpati masyakarat untuk berguru kepadanya. Sampai
akhirnya ia mulai merintis sarana tempat belajar untuk menampung
murid-murid yang saling berdatangan. Pada awalnya hanya dua orang, lama
kelamaan berkembang menjadi 12 orang. Hingga pada akhir tahun 1940-an,
jumlah santri telah berkembang menjadi sekitar 200 santri dari berbagai
pelosok Indonesia.
Pada jaman Jepang, ia pernah menjabat sebagai wakil Sacok (Camat). Di
mana pada siang hari ia mengenakan celana Goni untuk mengadakan grebegan
dan rampasan padi dan hasil bumi ke desa-desa. Kalau malam, ia gelisah
bagaimana melepaskan diri dari paksaan Jepang yang kejam dan biadab itu.
Kekejaman dan kebiadaban Jepang mencapai puncaknya sehingga para santri
selalu diawasi gerak-geriknya, bahkan mereka mendapat giliran tugas demi
kepentingan Jepang. Kalau datang waktu siang, para santri aktif latihan
tasio (baris berbaris) bahkan pernah menjadi Juara se-Kecamatan Mojo.
Tapi kalau malam mereka menyusun siasat untuk melawan Jepang. Demikian
pula setelah Jepang takluk, para santri kemudian menghimpun diri dalam
barisan tentara Hisbullah untuk berjuang.
Selepas perang kemerdekaan, pesantren Al-Falah baru bisa berbenah. Pada
tahun 1950 jumlah santri yang datang telah mencapai 400 santri.
Perluasan dan pengembangan pondok pesantren, persis meniru kepada Sistem
Tebuireng pada tahun 1923. Suatu sistem yang dikagumi dan ditimba Kyai
Djazuli selama mondok di sana.
Sampai di akhir hayat, KH. Ahmad Djazuli Utsman dikenal istiqomah dalam
mengajar kepada santri-santrinya. Saat memasuki usia senja, Kyai Djazuli
mengajar kitab Al-Hikam (tasawuf) secara periodik setiap malam Jum’at
bersama KH. Abdul Madjid dan KH. Mundzir. Bahkan sekalipun dalam keadaan
sakit, beliau tetap mendampingi santri-santri yang belajar kepadanya.
Riyadloh yang ia amalkan memang sangat sederhana namun mempunyai makna
yang dalam. Beliau memang tidak mengamalkan wiridan-wiridan tertentu.
Thoriqoh Kyai Djazuli hanyalah belajar dan mengajar “Ana thoriqoh ta’lim
wa ta’allum,”katanya berulangkali kepada para santri.
Keinginan beliau untuk mempunyai Putra-Putri yang tampil sebagai sosok
yang mempunyai figur orang yang mempunyai ilmu baik ilmu pengetahuan
khususnya agama Islam yang berkepribadian seorang muslim yang sejati
ternyata benar – benar terkabul, itu terbukti dengan putra – putrinya
yang sedang mengembangkan dan mengelolah pesantren yang beliau rintis.
Hingga akhirnya Allah SWT berkehendak memanggil sang Blawong
kehadapan-Nya, hari Sabtu Wage 10 Januari 1976 (10 Muharam 1396 H).
Beliau meninggalkan 5 orang putra dan 1 putri dari buah perkawinannya
dengan Nyai Rodliyah, yakni KH. Achmad Zainuddin, KH. Nurul Huda, KH.
Chamim (Gus Miek), KH. Fuad Mun’im, KH. Munif dan Ibu Nyai Hj. Lailatul
Badriyah. Ribuan umat mengiringi prosesi pemakaman sosok pemimpin dan
ulama itu disebelah masjid kenaiban, Ploso, Kediri.
Konon, sebagian anak-anak kecil di Ploso, saat jelang kematian KH.
Djazuli, melihat langit bertabur kembang. Langit pun seolah berduka
dengan kepergian ‘Sang Blawong’ yang mengajarkan banyak keluhuran dan
budi pekerti kepada santri-santrinya itu. Wallahu A'lam.
Semoga amal ibadah beliau diterima oleh Allah swt. dan semoga kita semua bisa mengambil tauladan dari beliau sehingga muncullah kader-kader baru yang seperti beliau dalm himmah dan ke-istiqomahannya.
Allohummaghfir lahu warhamhu wa 'afihi wa'fu 'anhu, wa nafa'ana bihi wa bi'ulumihi wa bi asrorihi fiddaroini AMIN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar